A. Identitas Buku
Judul
: Di Tengah Keluarga
Penerbit
: PT Dunia Pustaka Jaya
Tahun
Terbit : 1956
Halaman
: 139
Tebal
Buku : 1 cm
Sampul
Buku : Putih, gambar para tokoh
berwarna merah di tengah sampul buku
Jenis
Buku :
Fiksi/Sastra
B.
Biografi Ajip
Rusidi
Ajip Rusidi
(baca: Ayip Rosidi), lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari
1938; umur 75 tahun) adalah sastrawan Indonesia, penulis, budayawan, dosen,
pendiri, dan redaktur beberapa penerbit, pendiri serta ketua Yayasan
Kebudayaan.
Pendidikan Ajip
Rusidi mulai menempuh pendidikan sekolah rakyat Jatiwangi (1950), selanjutnya
menempuh Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953) dan terakhir Taman
Madya, Taman Siswa Jakarta (1956). Meski tidak tamat sekolah menengah namun dia
di percaya menjadi dosen di perguruan tinggi Indonesia, dan sejak 1967 juga
mengajar di Jepang.
Pada 31 Januari
2011 ia menerima gelar Doktor honoris causa bidang ilmu Budaya dari Fakultas
Sastra Universitas Padjadjaran. Keluarga Ia menikah dengah Fatimah Wirjadibrata
(1955) dan di karuniai 6 anak yaitu: 1. Nunuk Nuki Aminten (1965), 2. Titi
Surti Nastiti (1957), 3. Uga Perceka (1961), 4. Nundang Rundagi (1961), 5.
Rangin Sambada (1963), 6. Titis Nitiswari.
Banyak karya
Ajip beberapa di antaranya 1. Tahun-tahun Kematian (kmpulan cerpen) 1955, 2.
Kutemu di Jalan (kumpulan sajak) 1956, 3. Pesta (kumpulan sajak 1956, 4. Di
Tengah Keluarga (kumpulan cerpen) 1956, 4. Sebuah Rumah buah Haritua (kumpulan
cerpen) 1957, 5. Cari Muatan (kumpulan sajak) 1959
C.
Ringkasan
Novel
Pada kumpulan cerpen
bagian kedua yang berjudul “Hari-hari Punya Malam” terdapat lima pengisahan
yaitu Kejayaanku, Di Tengah Keluarga, Jati tak Berbunga Lagi, Sepeda,
Kutukan.
Pada bagian pertama kumpulan cerpen ini diberi
judul “Kekajaanku”. Maksud dari Kekayaanku di sini
bukan dalam arti bergelimang harta dengan segala kemewahannya, tapi tiada
lain adalah bahwa Ajip mempunyai keluarga yang banyak. Kekayaan dalam ibu tiri,
ayah tiri, dan saudara tiri. Dalam usianya yang masih kecil Ajip dihadapkan
pada persoalan-persoalan yang sangat rumit sehingga membentuk pola perilaku
Ajip kedepannya. Dalam cerpen ini juga disebutkan bagaimana ibu tiri Ajip yang
sangat pelit dan kejam yang tidak memperhatikan mertuanya sehingga hidup dalam
kesusahan dan tentunya Ajip sendiri sebagai anak tiri dari ayah. Sikap Ajip
yang tadinya biasa-biasa saja pada ibu tirinya tersebut berubah menjadi
benih-benih kebencian yang semakin hari semakin tumbuh subur. Ditambah lagi
mendengar cerita-cerita yang berkembang di masyarakat tentang kejahatan ibu
tiri yang suka menggodok anaknya sehingga pandangan Ajip kepada sosok ibu tiri
pun secara tidak langsung berubah karena adanya stigma negatif melalui cerita
yang berkembang di masyarakat.
Cerpen kedua diberi judul “Di Tengah
Keluarga”. Kiranya judul ini mewakili cerita keseluruhan dari kumpulan
cerpen ini dimana ajip memang benar-benar hidup diantara keluarga ayah dan ibu
ajip yang sudah berpisah sehingga hidup ajip kadang terlunta-lunta dan tak
cukup diperhatikan oleh keduanya. Jadilah ajip mendapatkan perhatian lebih dari
sang nenek yang selalu memanjakannya dengan makanan-makanan yang enak terlebih ketika
ajip sekolah di kota dan jarang pulang. Keruwetan keluarga Ajip semakin
bertambah manakala kakek Ajip (kakek tiri dari ayah tiri Ajip) kawin lagi
dengan bibi Ajip. Dengan kondisi yang demikian, semakin komplekslah masalah
yang dihadapi Ajip. Di usianya yang masih belia Ajip sudah dihadapkan dengan
keadaan keluarga yang boleh dibilang carut marut dan kurang mendapat perhatian
dari kedua orang tuanya terutama ayahnya. Sikap saling salah menyalahkan antar
keduanya (ibu dan ayah kandung Ajip) membuat Ajip berada dalam ketidakpastian
dan kebingungan dalam memilih keduanya.
Cerpen ketiga yakni “Jati Tak Berbunga
Lagi”. Pada awalnya cerpen ini mendeskripsikan tentang asal-usul Jatiwangi.
Keadaan sosiokultural masyarakat disana yang beragam ada Jawa dan Sunda. Bahkan
Ajip sendiri merupakan keturunan dari ayah Sunda dan ibu Jawa. Ajip lebih
kerasan dengan bahasa Sunda karena pada waktu itu bahasa Sunda banyak diajarkan
di sekolah-sekolah dan juga banyak sekali buku-buku bahasa Sunda yang beredar
di perpustakaan. Namun tidak kalah penting juga bahwa di dalam cerpen ini
berkisah tentang buyut Ajip dari keluarga ibunya yang setiap pulang liburan
disarankannya Ajip untuk berkunjung ke rumah buyutnya. Di sinilah
ketidakpedulian seorang Ajip mulai terlihat. Sampai pada suatu ketika
didapatinya buyutnya sudah tiada. Tak sedikitpun Ajip mengeluarkan air mata.
Karena menganggapnya sudah biasa. Meninggalnya bujut Ajip tak membuatnya sedih
ataupun menangis. Bahkan Ajip lebih mengatakan bahwa itu adalah hal yang biasa.
Maksud biasa disini adalah karena Ajip sudah jenuh dengan keluhan-keluhan yang
ia dapatkan dari sana sini sehingga tiada tempat baginya untuk mencurahkan
keluh-kesahnya sendiri.
Cerpen keempat yakni “Sepeda”. Pada
bagian ini menceritakan tentang tekad yang keras seorang Ajip untuk bisa
mengendarai sepeda, hingga pada akhirnya Ajip bisa mengendarai sepada yang
berukuran lebih besar dari besar tubuhnya. Tetapi perjuangan Ajip tidak sampai
disitu, banyak cobaan Ajip untuk memiliki sepeda yang berukuran dua puluh empat
inci itu. Dimulai dari Ajip harus meminta maaf kepada ibu tiri yang sangat
dibencinya, hingga harus bersabar sekian lama untuk menunggu sepeda yang
diinginkan. Tetapi pada saat sepeda itu telah Ajip miliki hanya beberapa minggu
saja Ajip merawatnya dengan benar minggu berikutnya Ajip pun menghiraukan
sepedanya yang kotor karena jarang dirawat.
Cerpen kelima yakni “Kutukan”. Pada
bagian ini menceritakan tentang kisah nenek dan kakek Ajip yang selalu berkeluh
kesah kepada Ajip karena prilaku ayahnya yang sangat tunduk sekali kepada
istriya (ibu tiri Ajip), karena ketundukkan ayahnya itu sehingga nenek dan
kakek Ajip merasa dirinya telah dicampakan oleh anak yang sedari kecil mereka
rawat dan sekolahkan dengan baik meskipun pada jaman itu keadaan ekonomi mereka
sangat terbatas, tetapi dikala ayah ajip sukses. Dia tidak membalas pengorbanan
ayah dan ibunya. Sehingga ayah dan ibu ajib pun harus berusaha keras untuk
mencari makan.
Pada kumpulan cerpen bagian kedua yang berjudul
“Hari-hari Punya Siang” terdapat empat pengisahan, yaitu Seorang
Jepang, Temanku Pergi Belajar, Koja, dan Hari Ini Aku Punya.
Ajip menceritakan kisah-kisang manis dengan
memberitakan apa yang ia senangi berupa bahan nostalgianya ketika masih
kanak-kanak. Pada cerpen pertama Seorang Jepang, mengenai
kedatangan seorang Jepang ke tengah-tengah keluarga Ajip. Yang pada awalanya
Ajip menyukai kedatangan orang Jepang tersebut karena dengan bangga rumah
kakeknya selalu dikunjungi, di tambah ia dengan mudah mendapatkan apa yang ia
inginkan, karena pemberian dari orang Jepang itu, walaupun sebenarnya dalam
lubuk hati Ajip ia sulit menerima kedekatan ibunya dengan Mitsu (orang Jepang).
Itulah salah satu karakter anak yang dipaparkan oleh Ajip, dengan keluguan
semasa kecilnya. Namun tidak luput dari histori yang berkaitan dengan
lingkungan sosialnya, seperti adanya Jepang dan keadaan masyarakat pada masa
tersebut.
Anak-anak yang digambarkan oleh Ajip dalam
kumpulan cerpen bagian kedua ini penuh dengan keriangan, kesedihan, canda, dan
kepedulaian seorang anak terhadap teman bermain yang sangat jelas Ajip kisahkan
dalam cerpen-cerpen tersebut. Dapat dilihat dalam cerpen Temanku Pergi
Belajar bahwa walaupun kehidupan si teman begitu sulit tapi ia tetap
bisa tertawa dan bercanda bersama Ajip, bahkan justru sebaliknya Ajip selalu ia
hibur manakala sakit ataupun bersedih ketika diperolokkan.
Koja pada bagian ini Ajip dan
neneknya berniat ingin pergi menuju rumah bi Rusih yang merawat kebun dan
binatang ternak kepunyaan nenek ajip dan kemudian nenek ajip mempunyai maksud
ingin memberitahu kepada bu Rusih untuk menyembelih binatang ternak nenek ajip tersebut.
Mereka melewati pohon tebu yang rimbun dan lebat yang membuat rasa ingin ajip
untuk memotong sedikit dari pohon tebu yang rimbun tersebut. Ketika itulah ajip
dan neneknya bertemu dengan Mang Memet (centeng di Perkebunan tebu tersebut
sekaligus adik dari ibu Rusih). Mang Memet pun mengantarkan ajip dan neneknya
sampai ke rumah ibu Rusih.
Hari ini aku Punya. Pada bagian ini pula
terjadi permasalahan ketika ajib dan kawan-kawannya pergi ke Cikeruh tanpa
sepengetahuan nenek ajip. Ketika itu masalah kembali muncul, ketika ajip
terseret arus air yang begitu besar. Kenakalan ajip yang tidak mendengarkan
nasihat neneknya itu berbuah malapetaka. Lagi-lagi ajipun mendapatkan omelan
dari neneknya.
D. Daftar Pustaka
Rusidi, Ajip. 1956. Di
Tengah Keluarga. Jakarta: Dinas Penerbit Balai Pustaka
Sumarjo,
Jakob. 1975. Ajip Rusidi “Di Tengah
Keluarga. Jakarta: Pikiran Rakyat, PDS no.78 tahun X, Rabu, 25 juni
Rosidi, Ajip. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:
Binatjipta